Lanjutan ucapan Ayub dimulai dengan sindiran terhadap ucapan Bildad yang dianggapnya tidak bermutu (26:1-4) karena Ayub mengenal Allah, diri sendiri, dan memahami akhir orang fasik jauh lebih baik daripada Bildad dan teman-temannya. Melalui ucapannya, Ayub memperkenalkan Allah sebagai Penguasa dan Pengendali segala sesuatu, mulai dari dunia orang mati (26:5-6), angkasa luar (26:7), cuaca (26:8-9), hingga kepada langit dan laut (26:10-13).
Dalam lanjutan ucapannya, Ayub menyatakan imannya kepada Allah meskipun ia tidak memahami mengapa Allah mengizinkannya mengalami semua penderitaan itu. Perkataan "Allah ... tidak memberi keadilan kepadaku" serta "Yang Mahakuasa ... memedihkan hatiku" (27:2) harus dipahami sebagai bahasa puisi, sehingga tidak boleh diartikan secara literal bahwa Ayub menuduh Allah berlaku tidak adil. Sebaliknya, perkataan itu adalah ungkapan ketidakpahaman kepada kehendak Allah atas dirinya. Meskipun demikian, Ayub sama sekali tidak meragukan kebaikan Allah dan mengkompromikan kebenaran (27:4-6). Ayub menutup ucapannya di pasal ini dengan kecaman kepada orang fasik (27:7-23) untuk membuktikan bahwa ia sadar bahwa dirinya tidak termasuk orang fasik, karena ia tak mungkin mengecam dirinya sendiri.
Sewaktu mengkhotbahkan teks ini, Charles Spurgeon menekankan bahwa berkat dan penderitaan yang Allah izinkan sama-sama tidak dapat dipahami dalam kehidupan ini. Begitu banyak orang Kristen dengan gampang menerima berkat Allah dengan ucapan syukur tanpa mempertanyakan alasan Allah memberkatinya; sebaliknya ketika menghadapi kesulitan, mereka begitu gampang mempertanyakan kebaikan Allah. Orang Kristen harus memiliki kesiapan yang sama untuk menerima berkat dan ujian dari Allah, yang sama-sama sulit dipahami. [TF]
"Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk per caya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia, dalam pergumulan yang sama seperti yang dahulu kamu lihat padaku, dan yang sekarang kamu dengar tentang aku." Filipi 1:29-30