Sejak tahun yang lalu, banyak negara di dunia--termasuk Indonesia-- dilanda pandemi COVID-19 yang mengharuskan setiap orang tetap berada di rumah. Berbagai kebijakan seperti pembatasan sosial maupun pemotongan libur cuti bersama pun sudah diinisiasi oleh pemerintah untuk mencegah penularan. Akan tetapi, ternyata tidak ada yang mampu menghentikan masyarakat dari pergi berlibur. Ironisnya, di tengah angka penularan yang semakin tinggi, tempat-tempat wisata masih ramai dipadati oleh pengunjung. Mereka tetap pergi karena mereka merindukan masa-masa bisa bersantai dan berhenti dari kepenatan rutinitas sehari-hari yang melelahkan.
Kerinduan manusia akan perhentian bukan sesuatu yang baru. Sejak penciptaan dunia, Tuhan mendesain satu hari dalam seminggu--yang disebut hari Sabat--untuk berhenti, beristirahat, dan menikmati persekutuan dengan Allah. Namun, setelah manusia jatuh dalam dosa, manusia harus bersusah payah bekerja dan kehilangan persekutuan dengan Allah. Dalam Ibrani 4, penulis Surat Ibrani membahas tema hari Sabat sebagai hari perhentian dengan memakai perjalanan bangsa Israel di padang gurun sebagai gambaran. Dari Mesir yang melambangkan perbudakan dosa, bangsa Israel dipanggil Tuhan untuk menikmati kehidupan bersama dengan Dia di Tanah Kanaan sebagai tempat perhentian. Penulis Surat Ibrani mengingatkan bahwa ada dua macam kelompok, yaitu kelompok yang diizinkan masuk ke Tanah Kanaan dan kelompok yang tertinggal. Dari antara mereka yang meninggalkan Tanah Mesir, hampir semuanya mati di perjalanan dan tidak bisa masuk ke tempat perhentian, yaitu Tanah Kanaan (4:1-6).
Adanya pembedaan antara siapa yang boleh masuk ke tempat perhentian dan yang tertinggal tergantung pada respons mereka saat mendengarkan firman Tuhan. Surat Ibrani mengingatkan bahwa firman Allah itu hidup dan kuat dan lebih tajam dari pedang bermata dua mana pun (4:12-13). Artinya, saat Allah berfirman, Ia menyingkapkan siapa kita sebagai orang yang berdosa dan membutuhkan anugerah Allah. Firman-Nya menuntun dan menegur agar kita melangkah sesuai dengan kehendak dan pimpinan Allah dalam setiap aspek hidup kita. Kita harus memilih dengan tegas antara "mendengar dan taat" atau "mengeraskan hati dan berpaling". Tidak ada pilihan di antara keduanya!