Doa adalah nafas hidup orang percaya. Doa merupakan kehendak Allah (1 Tesalonika 5:17). Melalui doa, kita menjalin relasi dengan Tuhan. Rasul Paulus mendorong kita agar senantiasa berbicara dengan Tuhan untuk membahas apa pun, termasuk memohon sesuatu bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Orang percaya menjadi garam dan terang dunia melalui sikap dan perilaku, dengan diawali oleh hati yang peduli terhadap sesama manusia. Kita menaikkan doa syafaat bagi kesejahteraan sesama, secara khusus agar mereka mengenal Allah dan diselamatkan. Untuk kesejahteraan masyarakat, kita harus mendoakan pemerintah—khususnya para pemimpin bangsa—agar tidak terjadi kesalahan dalam membuat kebijakan, dan agar mereka bekerja dengan sikap takut akan Tuhan, sehingga pemerintahan berjalan dengan baik dan rakyat dapat hidup sejahtera.
Sebagai sarana berelasi dengan Allah, doa harus dinaikkan dengan hati yang suci, tulus, dan bebas dari motivasi yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Rasul Paulus menasihati para pemimpin doa dalam ibadah jemaat bahwa sikap hati yang seharusnya saat berdoa berasal dari buah Roh (Galatia 5:22-23) yang merupakan ciri orang yang sudah dilahirkan kembali. Sikap hati itu tercermin dalam sikap dan perilaku. Berdandan dan mengenakan aksesori berlebihan biasanya dilakukan untuk menonjolkan diri atau untuk mencari pujian bagi diri sendiri. Sebaliknya, menampilkan buah Roh membuat seseorang merepresentasikan Allah serta menghasilkan pujian dan kemuliaan bagi Allah. Kritik Rasul Paulus mengenai wanita bersolek bukan bermaksud melarang tampil cantik, melainkan mengingatkan agar jangan sampai keinginan tampil menonjol (gaudiness) menyingkirkan kesalehan (godliness).
Pelarangan terhadap wanita untuk mengajar dan memerintah laki-laki bukanlah masalah gender, tetapi masalah tatanan sosial menurut kehendak Allah sejak penciptaan (2:13, Kejadian 2:7-25). Allah telah menetapkan laki-laki sebagai kepala keluarga. Ketetapan ini bukan masalah ketidaksetaraan gender karena Allah yang Maha Tahu memiliki hikmat di atas batas pemikiran manusia, sehingga Ia pasti tahu apa yang terbaik bagi manusia. Hierarki yang ditetapkan dalam keluarga harus diterapkan dalam komunitas sosial yang lebih besar. Tanpa adanya hierarki, bisa terjadi konflik secara sosial dan budaya. Sikap kita—baik pria maupun wanita—seharusnya tunduk dan taat terhadap kehendak Allah, bukan fokus pada masalah kesetaraan gender menurut hikmat dunia. Semangat emansipasi memang tampak adil, tetapi emansipasi tanpa batas berarti menyingkirkan hikmat Allah. Apakah Anda bersedia tunduk pada cara hidup yang ditetapkan Allah?