Setiap orangtua pasti menginginkan agar anaknya bisa cepat mandiri: mampu makan, mandi, serta tidur sendiri. Kemandirian adalah tanda kedewasaan. Oleh karena itu, seorang anak yang belum bisa mandiri--kendati usianya sudah beranjak besar--akan mendukakan hati orang tuanya. Akan tetapi, hal kemandirian ini berbeda untuk masalah kerohanian. Orang yang menganggap dirinya mandiri (tidak lagi merasa memerlukan bantuan Tuhan), justru merupakan orang yang tidak dewasa secara rohani. Kemandirian rohani semacam itu justru mendukakan hati Tuhan.
Semula, bangsa Israel (keturunan Yakub) menunjukkan kebergantungan pada Tuhan. Saat itu, Tuhan menegaskan perlunya memelihara kasih setia dan hukum serta menantikan Tuhan senantiasa. Sayangnya, setelah merasa sanggup mencukupi segala kebutuhan mereka sendiri (sanggup untuk mandiri), bangsa Israel berani menolak pemerintahan Tuhan dan kemudian meminta raja untuk memerintah mereka. Hal itu mendukakan hati Tuhan. Tuhan lebih menyukai kondisi saat bangsa Israel masih tinggal di perkemahan dan hidup bergantung pada Tuhan serta saat para nabi--yang menyampaikan suara Tuhan--menjadi pegangan utama. Saat Tuhan mengizinkan malapetaka datang, Ia bertanya dengan pedih untuk menyindir bangsa Israel: Apakah raja yang mereka pilih mampu menolong mereka? Jika tidak, mengapa mereka begitu mudah menjadi tinggi hati dan melupakan Tuhan?
Semakin kita mengenal Tuhan, seharusnya kita semakin menyadari bahwa kita tidak mampu berbuat apa-apa tanpa Tuhan. Tuhan menginginkan agar kita hidup dalam kebergantungan total kepada-Nya. [PHJ]
"Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sor ga." Matius 18:4