Pemeriksaan yang berlangsung secara berturut-turut terhadap Tuhan Yesus dalam pengadilan agama dan pengadilan negeri, serta penyiksaan terhadap diri-Nya, membuat Ia menjadi sangat lelah dan lemah, sehingga Ia tidak memiliki cukup tenaga untuk memikul salibnya sendiri. Perlu diingat bahwa Tuhan Yesus harus menghadapi lima kali sidang pengadilan: di rumah imam besar (22:54), di depan mahkamah agama (22:66), di depan Pilatus (23:1), di depan Herodes (23:7), dan kembali diadili oleh Pilatus (23:11). Dia dipaksa memakai mahkota duri dan dicambuk dengan cambuk yang ujungnya berupa bola berduri sehingga Ia kehilangan banyak darah. Itulah sebabnya, para tentara Romawi memaksa Simon dari Kirene untuk memikul salib Tuhan Yesus.
Di tengah perjalanan menuju Golgota, sejumlah besar orang mengikuti Tuhan Yesus. Di antara mereka, terdapat banyak perempuan yang menangisi Dia (23:27). Melihat hal itu, Tuhan Yesus berpaling dan berpesan agar mereka jangan menangisi Dia, melainkan menangisi diri mereka sendiri dan anak-anak mereka (23:28). Dalam penderitaan yang begitu hebat, ternyata Tuhan Yesus malah mengkhawatirkan mereka yang menangisi Dia. Mengapa Ia menyuruh mereka menangisi diri mereka sendiri dan anak-anak mereka? Tuhan Yesus tahu bahwa beberapa puluh tahun kemudian, Yerusalem akan dihancurkan oleh bangsa Romawi, dan banyak orang Yahudi akan terbunuh. Sejarah mencatat bahwa pada tahun 70 M, setelah cukup lama mengepung kota Yerusalem, tentara Roma menyerbu dan menghancurkan seluruh kota, termasuk Bait Allah. Orang-orang Yahudi dibunuh secara massal. Baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, semuanya akan dibunuh secara brutal. Seorang sejarawan bernama Josephus mencatat bahwa tentara Romawi harus memanjat tumpukan mayat untuk membunuh orang-orang yang masih tersisa di kota Yerusalem. Penderitaan yang begitu berat membuat orang berkata kepada gunung-gunung, "Runtuhlah menimpa kami!", dan kepada bukit-bukit, "Timbunilah kami!" (23:30).
Penderitaan tidak membuat Tuhan Yesus menjadi egois dan hanya memperhatikan diri-Nya sendiri. Ia tetap memiliki belas kasihan terhadap orang banyak. Bagaimana dengan Anda? Di tengah tekanan yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 ini, apakah Anda masih memiliki belas kasihan terhadap sesama?