Beberapa ucapan Ayub secara langsung memang ditujukan kepada Allah, baik dalam bentuk permohonan agar Allah turun tangan menolongnya (13:17-28), permohonan ampun jika ia memang bersalah di hadapan-Nya (7:20-21), permohonan agar Allah menjelaskan mengapa ia diizinkan menerima semua penderitaan yang ada (2:23-26; 23:2-12; 27:2; 30:20-23), serta keinginan untuk bertemu langsung dengan Allah (31:37). Setelah Ayub dan para sahabatnya selesai berbicara, Allah membuka suara dan menjawab pertanyaan dan menilai pandangan mereka.
Allah berbicara di dalam badai dan hanya berbicara kepada Ayub (38:1), namun Allah tidak menjawab pertanyaan atau menjelaskan ketidakpahaman Ayub. Sebaliknya, Allah membungkam Ayub yang sepanjang pembicaraan terkesan membenarkan dirinya. Melalui serangkaian pertanyaan retorika, Allah menunjukkan keperkasaan-Nya sebagai Pencipta dan Penguasa alam semesta, atas laut, fajar, cuaca, langit, dan bintang-bintang (38:4-38). Dengan cara yang sama, Allah juga menyatakan diri-Nya sebagai Penguasa segala binatang yang ada, khususnya binatang liar dan binatang udara (39:1-33).
Ucapan Allah berhasil menyadarkan Ayub, sehingga di dalam penyesalannya ia memohon ampun kepada Allah dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya dalam berbantah dengan Allah (39:34-38). Dari pengalaman Ayub, kita tidak hanya belajar akan kebaikan Allah yang memberi kesempatan kepada Ayub untuk menyadari kesalahannya dan bertobat, tetapi kita juga belajar untuk memiliki hati yang peka kepada teguran Allah seperti yang dimiliki Ayub, sehingga kita segera bertobat setelah ditegur Allah. [TF]
"Sesungguhnya, aku ini terlalu hina; jawab apakah yang dapat kuberikan kepada-Mu? Mulutku kututup dengan tangan. Satu kali aku berbicara, tetapi tidak akan kuulangi; bahkan dua kali, tetapi tidak akan kulanjutkan." Ayub 39:37-38