Meskipun Hizkia dan rakyat Yehuda berusaha sungguh-sungguh untuk hidup menaati Allah, bukan berarti bahwa mereka terbebas dari masalah. Ancaman tetap bisa datang, tetapi Allah di pihak mereka. Sanherib--Raja Asyur--datang menyerbu Yehuda. Ia mengepung kota-kota berkubu dan berniat merebutnya. Sanherib menjalankan taktik yang lihai. Selain melakukan pengepungan, ia juga mengutus beberapa pegawainya ke Yerusalem untuk menemui Hizkia dan rakyat Yehuda, mematahkan semangat mereka, dan memudarkan iman mereka kepada Allah. Ia memakai pernyataan-pernyataan yang sangat masuk akal yang diharapkan membuat hati orang Yehuda menjadi bimbang, sehingga akhirnya mereka menyerah. Ia mengatakan bahwa mereka akan mati kelaparan serta kehausan karena pengepungan, dan bahwa Allah tidak akan mendengarkan mereka karena Hizkia telah menjauhkan segala bukit pengorbanan. Sanherib salah duga! Ia mengira bahwa perbuatan Hizkia menjauhkan bukit pengorbanan itu membuat Allah murka, padahal Allah justru berkenan terhadap perbuatan Hizkia. Sanherib juga membanggakan diri dengan mengatakan bahwa ia sudah mengalahkan allah-allah bangsa-bangsa lain yang telah ia taklukkan (32:9-14).
Semua perkataan Sanherib itu menggoyahkan iman Hizkia dan semua orang Israel. Hizkia tergoda untuk mencari pertolongan kepada Mesir yang merupakan bangsa yang kelihatan kuat pada masa itu. Namun, nabi Yesaya menyampaikan pesan Allah kepada Hizkia dan seluruh rakyat Yehuda agar mereka tidak mencari pertolongan ke Mesir, melainkan percaya kepada Allah saja (Yesaya 19:11-17; 20:1-6; 30:1-7). Raja Hizkia dan nabi Yesaya bin Amos kemudian berdoa dan berseru kepada Allah, dan Allah mengirim malaikat yang melenyapkan semua pahlawan yang gagah perkasa, pemuka dan panglima yang ada di perkemahan raja Asyur, sehingga Sanherib kembali ke negerinya dengan rasa malu. Di dalam 2 Raja-raja 19:35, dicatat bahwa Allah menewaskan 185 ribu orang di perkemahan Asyur. Sanherib kemudian dibunuh oleh anak-anak kandungnya sendiri pada waktu ia memasuki rumah allahnya (2 Tawarikh 32:20-21).
Lebih mudah memang, untuk memercayai manusia dan hal-hal yang terlihat jelas di depan mata. Namun, iman yang benar adalah iman yang tetap percaya, meskipun tidak melihat. Apakah Anda tetap memercayai Allah saat Anda menghadapi situasi sulit?