Pasal ini mengakhiri perdebatan babak kedua (pasal 15-21). Ayub menjelaskan bahwa keluh kesahnya tentang penderitaan tidak ditujukan kepada sahabat-sahabatnya, tetapi kepada Allah (21:4). Ayub menganggap penghiburan yang diberikan sahabat-sahabatnya sebagai penghiburan yang hampa (21:34) karena apa yang mereka utarakan tidak sesuai dengan apa yang dilihat Ayub di dunia ini. Ayub melihat bahwa ada orang fasik yang menikmati kemujuran dalam kefasikan hingga masa tuanya (21:7-13). Allah seperti membiarkan mereka menikmati kemujurannya (12:9). Mereka tidak menderita karena bencana bagi mereka disimpan untuk anak-anaknya (21:19), sehingga mereka tidak melihat akibat kefasikan mereka yang menimbulkan penderitaan bagi anak-anaknya, sesudah mereka mati (21:21). Jadi, pendapat para sahabat Ayub--yang memaknai keadilan Allah dalam arti bahwa orang benar akan diberkati dan orang yang tidak benar akan menderita--tidak sesuai dengan fakta yang dilihat oleh Ayub.
Sebagai umat Allah, janganlah tergiur untuk hidup seperti orang fasik walaupun kelihatannya mereka tidak mendapat hukuman yang membuat mereka menderita. Akan tetapi, mungkin anak-cucu mereka akan menerima akibatnya, sedangkan mereka akan menghadapi penghakiman akhir tanpa memiliki kesempatan untuk bertobat. Jadi, selagi Tuhan memberi kesempatan kepada umat-Nya untuk menyadari kesalahannya, jangan berlambat-lambat! Mintalah pengampunan Allah dan bertobatlah!
Bagi Ayub, kemujuran tidak berkaitan langsung dengan kesalehan. Orang yang mujur pun bisa saja menghina Allah dengan kemujurannya. Walaupun orang fasik bisa saja menikmati kemujuran sampai usia tua, bahkan mungkin saja orang fasik tidak melihat penderitaan, tetapi Ayub meyakini bahwa kemujuran orang fasik tetap ditentukan oleh kedaulatan Allah. Oleh karena itu, Ayub tidak mau mengikuti jalan mereka (21:14-17). Sebagai orang yang saleh, Ayub berharap bahwa orang-orang yang menghina Allah itu dihukum Allah agar sadar dan bertobat (21:20).
Anggota umat Allah yang hidupnya mujur jangan sombong dan merasa diri saleh karena kemujuran bukanlah tanda kesalehan. Kalau hidup Anda berlimpah, tidaklah berarti bahwa Anda sudah hidup benar. Jangan merasa lebih saleh daripada mereka yang hidupnya tidak mujur. Bila Anda diberkati Allah dengan melimpah, berarti Anda diberi kesempatan lebih besar untuk melayani Allah dan sesama. Apakah Anda sudah memakai berkat yang Anda terima untuk melayani Allah dan sesama?