Sikap Raja Yosafat dan Raja Israel--yaitu Raja Ahab--saat mereka hendak merebut Ramot-Gilead merupakan gambaran dua macam sikap terhadap kehendak Allah. Raja Yosafat dengan tulus hati ingin mencari kehendak Allah, tetapi Raja Ahab tidak demikian. Raja Ahab menyadari bahwa dirinya telah jatuh ke dalam dosa yang dalam sehingga sulit baginya mendapat "dukungan" Allah untuk melaksanakan rencananya. Oleh karena itu, saat dia menunjuk kepada Mikha bin Yimla, sang nabi yang bisa diharapkan menyampaikan petunjuk Tuhan, dia berkata, "Tetapi aku membenci dia, sebab tidak pernah ia menubuatkan yang baik tentang aku, melainkan malapetaka." (22:8). Raja Ahab hanya mau mendengar perkataan Tuhan yang menyenangkan hatinya, tetapi dia tidak mau mendengar celaan atau teguran yang keras terhadap dirinya!
Ketulusan hati (kejujuran, sikap tidak berpura-pura) diperlukan bila kita hendak mencari kehendak Allah bagi diri kita. Sesungguhnya, Allah mengerti segala sesuatu--bahkan tahu isi hati kita--sehingga tidak ada gunanya kita berpura-pura. Bila kita ingin mengetahui kehendak Allah, kita harus memiliki kesediaan (tekad) untuk melakukan apa pun yang merupakan kehendak Allah. Kesediaan untuk melakukan kehendak Allah ini terlihat dari sikap kita terhadap dosa. Bila kita selalu membela diri untuk membenarkan dosa yang kita lakukan, berarti kita tidak memiliki kesediaan untuk melakukan kehendak Allah. Bila kita bersedia melakukan kehendak Allah, kita akan mencari kehendak Allah dengan kerendahhatian. Apakah Anda telah membiasakan diri untuk mencari kehendak Allah sebelum mengambil keputusan penting dalam kehidupan Anda? [P]
"Barangsiapa mau melakukan kehendak-Nya, ia akan tahu entah ajaran-Ku ini berasal dari Allah, entah Aku berkata-kata dari diri-Ku sendiri." Yohanes 7:17