Melihat kemuliaan Allah adalah sangat mengerikan di masa lampau. Kemuliaan Allah menuntut kekudusan umat-Nya. Pelanggaran terhadap kekudusan Allah mengakibatkan kematian. Hal ini terlihat dalam sejarah bangsa Israel, mulai saat keluar dari tanah perbudakan, berkeliling di padang gurun, sampai menjadi sebuah kerajaan. Di saat yang sama, kemuliaan Allah adalah satu-satunya kebanggaan bangsa Israel karena Allah telah menyelamatkan mereka dari perbudakan. Kemuliaan Allah terpancar di tengah-tengah mereka, baik dalam Kemah Suci, dalam Bait Allah, dan terpancar secara utuh saat Yesus Kristus berinkarnasi ke tengah dunia.
Allah yang menyelamatkan itu bukan hanya mulia (11:36), tetapi juga penuh kasih karunia dan kebenaran (5:17), sekaligus penuh misteri (11:33-34). Kemuliaan Allah menuntut agar gereja menjadi komunitas yang kudus, rela mempersembahkan diri, dan rindu untuk terus-menerus diubah menjadi serupa dengan Kristus. Identitas seperti itu mungkin tidak populer dan menyulitkan, apa lagi saat gereja masa kini berada dalam konteks pandemi! Namun, identitas gereja tidak berubah saat melintasi zaman dan generasi. Identitas itu mengingatkan gereja untuk menyadari siapa dirinya, yaitu sebagai kumpulan orang percaya yang bukan dari dunia, tetapi berada di tengah dunia. Identitas ini mengingatkan bahwa tugas gereja bukanlah memamerkan kesuksesan yang lahir dari usaha manusiawi, tetapi mewujudkan kekudusan Allah melalui aksi gereja sebagai wakil Allah di tengah dunia. Identitas itu memanggil gereja untuk tidak menyembah harta, kuasa, dan popularitas, tetapi menyembah satu Allah saja, yaitu Sang Tritunggal. Penyembahan itu diwujudkan melalui hidup yang dipersembahkan kepada Allah sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada-Nya (12:1).
Panggilan penuh kemuliaan itu tidak henti-hentinya mengubah gereja menjadi makin serupa dengan Kristus. Panggilan itu tidak dapat dikerjakan oleh gereja yang suam-suam kuku dan senang dengan kemuliaan diri, serta gereja yang pasif, tetapi hanya dapat dikerjakan oleh gereja yang dinamis, terus-menerus berubah menjadi makin serupa dengan Kristus, Sang Kepala Gereja. Saat Ia datang kembali, seruan "Soli Deo gloria!" (hanya Tuhan yang dimuliakan) bukan sekadar slogan, melainkan persembahan yang sejati. Apakah kehidupan Anda telah memuliakan Allah?