Kitab Daniel ditulis oleh Nabi Daniel pada abad keenam Sebelum Masehi. Keunikan kitab Daniel adalah bahwa kitab ini ditulis dengan dua jenis sastra. Bagian pertama--Daniel 1-6--ditulis dalam bentuk cerita yang mengungkapkan kisah hidup Daniel dan ketiga rekannya, yaitu Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Bagian kedua--Daniel 7-12--ditulis dalam bentuk sastra apokaliptik, yaitu bentuk sastra yang menggunakan banyak simbol dan memuat berbagai penglihatan tentang zaman yang lebih jauh daripada masa hidup Daniel.
Kitab Daniel memuat banyak tema penting. Tema yang sangat menonjol adalah "kedaulatan Allah". Saat terjadi perang di zaman kuno, ilah atau dewa dari bangsa yang kalah perang dianggap takluk kepada ilah bangsa yang menang perang. Hal itu tercermin dalam tindakan pasukan Babel yang membawa berbagai perkakas di Bait Allah untuk dijadikan sebagai perbendaharaan dewa Babel (1:2). Allah memperlihatkan kedaulatan-Nya yang bersifat lintas wilayah dan bangsa, sebab kekuasaan-Nya kekal (4:34). Kekuasaan Allah bukan hanya berlaku pada periode waktu tertentu, tetapi sejak masa awal sampai masa akhir selalu berlaku. Kekuasaan Allah tidak akan berubah (4:34). Allah adalah Raja di atas segala raja (4:35) yang berkuasa mengangkat seseorang pada kedudukan yang dikehendaki-Nya (5:21). Sebaliknya, Ia akan merendahkan pribadi yang congkak (4:37). Respons yang wajar dari manusia terhadap Allah adalah meninggikan dan memuliakan Allah yang benar serta adil (4:37).
Nama Daniel berarti "Allah adalah hakimku". Jelas bahwa Allah adalah hakim yang berkuasa. Allah menghukum raja yang congkak, tetapi Ia memberikan berkat-Nya kepada kaum yang hidup takut akan Dia. Daniel dan ketiga rekannya--yang sejak muda bertekad untuk hidup dalam takut akan Allah--menerima kasih karunia dari Allah, sehingga mereka dapat menduduki posisi penting di Kerajaan Babel (pasal 1). Keteguhan hati Daniel, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego untuk memilih takut akan Allah--walaupun menghadapi berbagai konsekuensi--ternyata berbuah hal yang manis (pasal 3, 6). Melalui Kitab Daniel, kiranya umat Allah dari berbagai zaman--termasuk kita yang hidup di zaman ini--bertekad untuk hidup dalam takut akan Allah. Dengan memilih untuk sepenuh hati hidup di dalam kehendak-Nya, Allah dapat bekerja untuk menghadirkan kerajaan-Nya melalui diri kita, seperti Dia bekerja melalui Daniel. Kiranya Allah menolong kita untuk hidup dalam takut akan Dia. [Pdt. Emanuel Cahyanto Wibisono]
Sekitar tahun 587 BC, Nebukadnezar, Raja Babel, mengepung dan menghancurkan kota Yerusalem. Bait Allah juga dihancurkan. Perkakas Bait Allah dibawa untuk diletakkan di rumah dewa Babel. Pada zaman itu, bila sebuah bangsa mengalahkan bangsa lain, mereka meyakini bahwa ilah dari bangsa yang kalah ikut tunduk kepada ilah bangsa yang menang. Biasanya, patung yang melambangkan ilah bangsa yang kalah akan dibawa untuk diletakkan di tempat penyembahan ilah bangsa yang menang. Akan tetapi, Bait Allah orang Israel berbeda dengan tempat penyembahan bangsa lain. Sama sekali tidak ada patung dewa di Bait Allah! Oleh karena itu, yang dibawa oleh para prajurit Babel adalah perkakas-perkakas di Bait Allah.
Daniel dan rekan-rekannya masih remaja saat dibuang ke Babel. Menurut tulisan seorang teolog bernama Butterworth di Jurnal Universitas Chicago, Usia Daniel sekitar 17 tahun atau lebih muda saat dibuang ke Babel (https://www.journals.uchicago.edu/doi/pdf/10.1086/472179). Di tanah Babel, Daniel mendapatkan pendidikan yang sangat baik. Akan tetapi, ia mendapat makanan yang--menurut hukum Taurat--termasuk kategori makanan haram yang tidak boleh dimakan oleh orang Yahudi. Daniel yang takut akan Allah itu "berketetapan untuk tidak menajiskan dirinya", lalu ia meminta dispensasi kepada pemimpin pegawai istana agar diizinkan untuk tidak memakan santapan raja dan tidak meminum anggur yang biasa diminum raja (1:8). Perhatikan bahwa dalam kisah selanjutnya, Daniel menjalani uji stamina tubuh bersama ketiga rekannya (1:11-16). Secara tidak langsung, hal ini menunjukkan bahwa Daniel telah mempengaruhi ketiga rekannya untuk mengikuti jejaknya. Keteguhan hati Daniel membuahkan hasil. Hasil yang baik ini semata-mata bukan karena kemampuan diri mereka, tetapi karena Allah memberikan anugerah-Nya. Anugerah Allah membuat sang pemimpin pegawai istana mengasihi Daniel (1:9). Kepada Daniel dan ketiga kawannya, Allah memberi pengetahuan serta kepandaian (1:17).
Allah tidak pernah kalah! Dia berdaulat dan berkuasa untuk memberi berkat kepada umat-Nya yang setia. Jalanilah kehidupan ini dengan keyakinan yang kokoh akan kedaulatan Allah! Hiduplah takut akan Allah, dan jadilah saksi-Nya! Apakah kehidupan Anda sudah mempengaruhi orang-orang di sekitar diri Anda? Semoga Tuhan menolong kita untuk menjalankan fungsi sebagai saksi-Nya! [Pdt. Emanuel Cahyanto Wibisono]