Pada masa Perjanjian Lama, hukuman Allah berupa bencana nasional hanya akan berakhir setelah umat Allah bertobat, merendahkan diri di hadapan Allah, serta meninggalkan dosa. Sikap merendahkan diri untuk memohon pengampunan Allah itu biasanya diungkapkan dengan cara memakai kain kabung, berpuasa dan menaruh abu di kepala. Walaupun kita tidak bisa mengatakan bahwa pandemi diakibatkan oleh dosa dan kita juga tidak perlu meniru ungkapan merendahkan diri yang dijalankan pada masa Perjanjian Lama, pandemi yang seperti tanpa akhir merupakan kesempatan bagi kita untuk mengevaluasi dan memperbaiki cara hidup umat Allah. Menjelang peringatan Hari Reformasi tahun ini, kita akan mengevaluasi pemahaman kita tentang beberapa konsep kehidupan Kristen yang sangat mendasar.
Kehidupan seorang Kristen seharusnya berbeda dengan cara hidup dunia ini. Bila kita memperhatikan kehidupan jemaat mula-mula, jelas bahwa kehidupan mereka berbeda dengan kehidupan orang-orang di sekitarnya, sehingga cara hidup orang percaya itu menimbulkan "ketakutan" (Kisah Para Rasul 2:43). Tentu saja "ketakutan" ini bukan takut karena orang Kristen membahayakan, melainkan ketakutan ini menunjuk kepada sikap segan atau sikap hormat. Ketakutan yang positif inilah yang membuat jumlah orang percaya bertambah setiap hari (Kisah Para Rasul 2:47). Sayangnya, kondisi seperti itu hampir tidak bisa kita jumpai lagi pada masa kini. Kehadiran orang Kristen sering kali tidak berpengaruh terhadap lingkungannya. Kita sulit membedakan orang Kristen dan bukan Kristen selain dari kehadirannya dalam gereja. Ketiadaan pengaruh kekristenan itu semakin jelas pada masa pandemi ini.
Apa yang membuat kehidupan Kristen berbeda dengan lingkungannya? Menjelang peringatan Hari Reformasi tahun ini, kita akan memikirkan tiga hal yang harus ada dalam diri setiap orang percaya dan membuat hidupnya berbeda dengan dunia ini, yaitu anugerah yang diterima orang percaya, iman yang mengarahkan kehidupan orang percaya, dan kehadiran Roh Kudus yang menggerakkan kehidupan orang percaya. Selanjutnya, kita akan memikirkan tiga hal yang seharusnya menjadi ciri seorang beriman, yaitu hidup berlandaskan kebenaran firman Tuhan, adanya damai sejahtera yang tidak bisa tergoncang oleh masalah dan penderitaan, dan adanya pengharapan. Kemudian, kita akan memikirkan dua hal yang seharusnya menjadi tujuan atau gaya hidup murid-murid Kristus, yaitu mengasihi serta melayani. [GI Purnama]
Sola Gratia--artinya "Hanya oleh Anugerah"--adalah doktrin yang sangat penting dalam kekristenan. Walaupun doktrin ini merupakan salah satu doktrin yang amat ditekankan pada masa reformasi, doktrin ini sering disalahpahami dan diabaikan. Dalam Alkitab bahasa Indonesia, kata Yunani χάρις--baca: kharis--atau "anugerah" ini umumnya diterjemahkan sebagai "kasih karunia". Kata ini selalu dipakai oleh Rasul Paulus saat menyapa dalam surat-suratnya (Roma 1:7; 1 Korintus 1:3; 2 Korintus 1:2; Galatia 1:3; Efesus 1:2; Filipi 1:2; Kolose 1:2; 1 Tesalonika 1:1; 2 Tesalonika 1:2; 1 Timotius 1:2; 2 Timotius 1:2; Titus 1:4; Filemon 1:3). Hal ini memperlihatkan betapa pentingnya konsep anugerah itu.
Anugerah berarti pemberian--termasuk pengampunan--kepada seorang yang tidak pantas menerima pemberian itu. Pengertian "anugerah" ini dijelaskan secara gamblang oleh Tuhan Yesus dalam perumpamaan tentang Kerajaan Sorga di Matius 18:23-35 yang menjadi bacaan Alkitab hari ini. Dalam perumpamaan itu, dikisahkan tentang seorang yang berhutang 10.000 talenta kepada seorang raja. 1 Talenta itu 6.000 dinar, sedangkan 1 dinar adalah upah pekerja harian dalam sehari. Jelas bahwa jumlah hutang hamba itu sangat besar dan ia tidak mungkin sanggup membayar lunas hutang tersebut seumur hidupnya. Oleh karena itu, pembebasan hutang yang diberikan kepada hamba itu merupakan suatu anugerah. Yang menjadi ironi, saat bertemu dengan hamba lain yang berhutang kepadanya 100 dinar, ia tidak bisa bermurah hati, bahkan ia menjebloskan kawannya itu ke dalam penjara. Akibatnya, sang raja menjadi murka! Sepantasnya, hamba yang telah memperoleh anugerah pembebasan hutang itu merespons dengan memberikan anugerah pembebasan hutang kepada hamba yang lain. Sang raja murka karena hamba itu tidak menyadari besarnya anugerah yang telah ia terima.
Hidup oleh anugerah bukan hanya menyangkut hubungan dengan Allah, tetapi juga menyangkut hubungan dengan sesama. Sesudah memperoleh anugerah Allah, kita harus membagikan anugerah itu kepada sesama. Bila Allah menuntut kita memenuhi stadar-Nya, kita tidak akan sanggup memenuhi standar itu. Itulah sebabnya, Allah datang ke dunia ini untuk mengangkat kita dari keterpurukan akibat dosa agar kita bisa hidup berkenan kepada-Nya. Apakah Anda telah memperoleh anugerah Allah yang menyelamatkan itu? Apakah anugerah Allah telah memancar saat Anda berinteraksi dengan orang lain? [GI Purnama]