Nehemia tahu bahwa membangun tembok Yerusalem bukanlah sekadar pekerjaan, melainkan pelayanan bagi umat Allah, bangsanya sendiri. Di tengah kesibukan membangun tembok Yerusalem, Nehemia dengan rendah hati mendengarkan keluhan yang disampaikan oleh bangsanya, sehingga ia bisa mengetahui bahwa ternyata ada masalah berat yang perlu segera ditangani. Masalah itu membuat ia marah (5:6). Ada orang-orang Yahudi yang mementingkan diri sendiri dengan mengambil untung dan hal ini melanggar firman Tuhan serta menyusahkan saudara sebangsanya. Fakta ini menunjukkan bahwa Nehemia tidak hanya menghadapi tantangan dari luar, tetapi juga dari dalam, yaitu dari bangsanya sendiri.
Nehemia yang mengasihi bangsanya tidak mau dikendalikan oleh amarahnya. Dia memikirkan masak-masak cara menyadarkan bangsanya agar mereka berubah (5:7). Nehemia berusaha mengingatkan bangsanya agar mereka hidup dalam takut akan Allah (5:9). Tentu saja, peringatan itu akan sulit diterima bila tingkah laku Nehemia tidak sesuai dengan perkataannya. Nehemia berusaha memberi teladan dengan menebus bangsanya yang telah dijual (5:8). Dia tidak mengambil bagiannya sebagai bupati (5:14). Selain itu, Nehemia juga bukan sekadar menyalahkan mereka. Ia menempatkan dirinya sama seperti mereka dengan mengatakan bahwa "aku dan saudara-saudaraku telah membungakan ... biarlah kita hapuskan hutang mereka" (5:10). Tingkah laku Nehemia yang secara konsisten memperlihatkan teladan kehidupan yang takut akan Allah merupakan sumber kekuatan yang membuat perintah yang ia sampaikan menjadi berkuasa, sehingga rakyat bersedia mengikuti apa yang Nehemia perintahkan (5:12).
Sekadar memerintahkan orang lain untuk hidup dalam takut akan Allah tentu saja mudah. Akan tetapi, membangun kewibawaan dengan menjadi teladan agar perkataan kita memiliki kuasa bukanlah hal yang mudah. Diperlukan konsistensi agar kita bisa menjadi teladan dalam hal hidup takut akan Allah. Saat Anda melihat bahwa orang-orang di sekitar Anda melakukan kesalahan dan hidup mereka tidak sesuai dengan firman Tuhan, bagaimana Anda bersikap? Apakah Anda sekadar menghakimi atau Anda--dengan kasih--berusaha menjadi teladan dan memikirkan cara mengubah hidup mereka agar menjadi sesuai dengan kehendak Allah?