Sebagai suatu bangsa, Israel dalam kitab Bilangan seperti sedang berada dalam tahap masa kanak-kanak dan remaja. Bangsa Israel berulang kali mengeluh, menggerutu, menunjukkan ketidaksabaran, ketidakpuasan, dan sikap seperti anak kecil yang sedang mengambek--kadang-kadang melakukan aksi tutup mulut, tetapi lebih sering berteriak-teriak saat merasa tidak senang. Mereka tidak mengingat kebesaran dan kemuliaan yang telah Allah tunjukkan saat membawa mereka keluar dari Mesir, melainkan justru berfokus pada ketidaknyamanan yang mereka alami pada masa persiapan memasuki Tanah Kanaan.
Setelah mengawali dengan mengadakan sensus sebagai persiapan, selanjutnya Allah memberikan peraturan dan ketetapan sebagai ciri bahwa mereka adalah bangsa yang kudus sebagaimana Allah adalah kudus. Allah sedang membentuk mereka--secara rohani maupun secara fisik--agar siap untuk menerima warisan. Akan tetapi, mereka segera mulai memberontak. Mula-mula, mereka bersungut-sungut soal makanan. Lalu, mereka melawan otoritas Musa. Puncaknya, saat 12 pengintai dikirim untuk menyelidiki tanah yang akan mereka masuki dan lawan yang akan mereka hadapi, selain Kaleb dan Yosua, sepuluh pengintai yang lain tidak percaya bahwa TUHAN sanggup menghalau bangsa-bangsa yang akan mereka hadapi. Akibat ketikdakpercayaan mereka, bangsa Israel harus tinggal selama 40 tahun di padang gurun sambil menantikan kemusnahan generasi lama dan kemunculan generasi baru. Namun, dalam kitab Bilangan--sebagai bagian dari rangkaian penggenapan janji Allah kepada Abraham dalam Kejadian 12:1-3 tentang keturunan dan kepemilikan tanah--TUHAN memperlihatkan kualitas-Nya sebagai Allah yang penyayang dan pengasih, panjang sabar, serta berlimpah kasih dan setia-Nya (Keluaran 34:6); layaknya Bapa yang Mahabaik dan Mahabijak yang tahu menghadapi anak yang tegar tengkuk. Allah membuktikan kesetiaan-Nya dengan terus memberi kesempatan kepada bangsa Israel.
Seperti di awal kitab, Kitab Bilangan juga diakhiri dengan sensus. Generasi yang baru dihitung dan dikuduskan. Setelah mencicipi kemenangan terhadap raja-raja Midian dan negeri-negeri di sebelah Timur sungai Yordan, suku Ruben dan Gad memilih tempat itu. Lalu, mereka menghadapi ujian terbesar: Mereka harus menyeberangi sungai, lalu merebut tanah Kanaan yang telah TUHAN janjikan untuk diberikan kepada mereka. Pelajaran yang mereka dapatkan sangat jelas: Janji Allah yang setia itu tidak dapat digagalkan, bahkan oleh ketidaksetiaan dari umat yang Allah pilih sendiri. Satu-satunya respons yang pantas adalah bertobat dan percaya sepenuhnya kepada Allah! [GI Mario Novanno]
Tujuan utama TUHAN meminta Musa menghitung/menyensus bangsa Israel adalah untuk mengetahui berapa banyak orang yang sanggup berperang. Kategorinya jelas, yaitu laki-laki Israel yang berumur 20 tahun ke atas dan sanggup berperang. Hasil sensus sebanyak 603.550 orang menunjukkan besarnya kekuatan militer yang dimiliki orang Israel dalam menghadapi bangsa-bangsa yang ada di Tanah Perjanjian.
Mengapa TUHAN mengizinkan--bahkan menyuruh--Musa melakukan sensus? Bukankah saat Daud mengadakan sensus (2 Samuel 24:1-17, 1 Tawarikh 21:1-17), TUHAN justru murka? Bukankah TUHAN adalah Allah yang Mahakuasa, yang sanggup mengalahkan apa pun dan siapa pun, dengan atau tanpa siapa pun? Jawabannya sudah pasti "ya!". Apakah 603.550 orang bagi TUHAN menunjukkan tanda bahwa bangsa Israel sudah siap berperang dan dengan demikian bangsa Israel bisa mengandalkan kekuatan militernya saja? Tentu saja tidak! Untuk kebaikan bangsa Israel-lah--yaitu untuk mengenal (realitas) diri--TUHAN menyuruh Musa menghitung. Jangan lupa bahwa Tuhan Yesus pernah menyampaikan dua ilustrasi penting dalam Injil Lukas 14:28,31, "Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya...? Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan 10.000 orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanganinya dengan 20.000 orang?" Tuhan pasti sanggup memenuhi keperluan untuk menyelesaikan menara. Tuhan juga pasti sanggup mendatangkan kemenangan, bahkan tanpa pasukan. Dia adalah Allah di atas realitas. Akan tetapi, apakah pasti selalu baik bila setiap kali muncul masalah, Tuhan langsung melakukan intervensi serta menyatakan kebesaran dan kemuliaan-Nya dengan membuat berbagai mukjizat yang justru malah membuai/meninabobokan dan melemahkan kerohanian manusia? Berdasarkan dua ilustrasi di atas, jelas bahwa Tuhan tidak anti dengan realitas. Manusia perlu memahami realitas agar bisa belajar menyadari keterbatasannya, belajar mempersiapkan diri, belajar merendahkan hati, serta mengandalkan Tuhan.
Melalui terjadinya berbagai mukjizat--10 tulah, terbelahnya laut Teberau, tiang awan dan tiang api--bangsa Israel dipersiapkan dan diajar TUHAN untuk terus dan tetap mengandalkan TUHAN, sekaligus menghadapi realitas di depan mereka: bangsa yang pasukannya kurang atau lebih dari 603.550 orang. Tantangannya: terlalu percaya diri dengan angka, atau sebaliknya--membandingkan diri dengan kenyataan. Padahal, realitas yang sesungguhnya adalah: Tuhan ada dan dapat diandalkan. Saat Anda menghadapi realitas yang menggentarkan hati, apakah Anda mencari dan mengandalkan Tuhan? [GI Mario Novanno]