Jangan menilai buku dari sampulnya! Ungkapan ini sering kita dengar dan kita pakai dalam kehidupan sehari-hari. Sampul tidak menjamin isi, sama seperti penampilan tidak menjamin hati. Nama, status, tidak selalu sesuai dengan kehidupan penyandangnya. Sebutan "Israel" mengandung kata "El" yang merupakan sebutan yang artinya "Allah", sedangkan "Israel" bisa diartikan sebagai umat yang dipimpin oleh Allah. Akan tetapi, perhatikan dua orang nenek moyang mereka, yaitu Yakub dan Yehuda. Yakub berarti "penipu", sedangkan Yehuda adalah orang yang bejat hidupnya. Mereka bangga dengan status mereka sebagai umat Allah. Mereka bersumpah demi Nama TUHAN dan mengakui Allah Israel, tetapi sumpah itu tidak disertai keseriusan dan ketulusan (48:1). Dengan bangga, mereka menyebut diri mereka berasal dari kota kudus, dan bertopang pada Allah Israel yang Nama-Nya TUHAN Semesta Alam (48:2). Namun, pengakuan itu hanya sebatas status yang membanggakan, sedangkan hati mereka tidak sungguh-sungguh berbakti kepada TUHAN. Mereka berkhianat dan memberontak kepada Allah (48:8). Tidak ada ketaatan kepada TUHAN dalam kehidupan sehari-hari. Mereka beribadah, memakai bahasa rohani, namun tingkah laku mereka tidak sesuai dengan perkataan dan ibadah mereka. Israel dan Yehuda adalah contoh nyata bahwa orang yang berstatus sebagai orang percaya belum tentu memiliki hati yang sungguh-sungguh percaya.
Kemunafikan orang Israel dan Yehuda seharusnya dihukum seberat-beratnya. Mereka mengira bahwa kemunafikan mereka tidak akan ketahuan dan bisa mengelabui orang lain. Namun, Allah Yang Maha Tahu tidak dapat dikelabui. Kejahatan yang dilakukan terang-terangan harus dihukum, apalagi kejahatan yang dilakukan dengan tipu muslihat. Orang Israel dan Yehuda seharusnya dilenyapkan. Namun, Allah menahan amarah-Nya, bukan karena orang Israel atau Yehuda layak diampuni, tetapi karena nama Allah sendiri (48:9-11). Nama Allah itu Masyhur dan Mulia karena Ia memberikan belas kasihan dengan limpahnya. Allah setia pada perjanjian-Nya dan Ia akan menggenapi rencana-Nya bagi umat-Nya. Oleh karena itu, Ia memakai kesengsaraan untuk memurnikan umat-Nya, sehingga mereka menjadi orang yang hidup mengasihi Dia dengan lebih tulus (48:10).
Renungkanlah hidup Anda! Kita tidak layak mendapat belas kasihan Tuhan. Sering kali, kita melupakan Tuhan dan mengejar kepentingan duniawi. Kita lebih mengutamakan diri sendiri dan keluarga kita daripada tulus mengasihi Tuhan. Namun, Tuhan tetap mengasihi dan memberkati hidup kita. Apakah Anda menyadari belas kasihan Allah?