Saat Kristus baru dilahirkan, para gembala datang dan menaikkan pujian kepada Allah Sang Pencipta. Beberapa bulan kemudian, saat Kristus sudah berusia kanak-kanak, tiga orang Majus datang menemui-Nya. Mereka adalah kaum cendekiawan yang berasal dari daerah Timur. Saat melihat bayi Yesus Kristus, ketiga orang itu sujud menyembah Dia dan memberi persembahan berupa mas, kemenyan, dan mur. Ketiga benda yang diberikan tersebut merupakan simbol kebesaran seorang raja atau penguasa, sehingga lazim dipakai sebagai persembahan kepada sosok raja atau bangsawan di zaman kuno (Mazmur 45:9, Yesaya 60:6).
Kisah perjalanan dan perjumpaan tiga orang Majus dengan Kristus menunjukkan perbedaan sikap antara mereka bertiga dengan para imam kepala dan ahli Taurat bangsa Yahudi. Ketiga orang Majus itu menyadari kehadiran sosok yang sangat penting di momen Natal, sehingga mereka berusaha mencari keberadaan Yesus Kristus dengan sepenuh hati, sedangkan para imam kepala dan para ahli Taurat tidak menyadari kehadiran Sang Mesias. Para Majus dari Timur--yang tidak tahu pasti tempat keberadaan bayi Yesus Kristus--datang ke Yerusalem dengan praduga bahwa kelahiran seorang raja pasti di kota Yerusalem yang menjadi pusat tatanan politik dan sosial bangsa Yahudi. Hal ini kontras dengan para imam dan ahli Taurat yang--melalui penafsiran terhadap Kitab Suci--mengetahui keberadaan Sang Mesias di Betlehem (1:5). Walaupun--setelah berjalan jauh dan lama--tidak menemukan keberadaan bayi Yesus Kristus di Yerusalem, ketiga orang Majus itu terus berjalan ke Betlehem, sedangkan para imam kepala dan para ahli Taurat yang sudah mengetahui tentang kepastian keberadaan Mesias yang dijanjikan dari Kitab Suci malah sama sekali tidak berusaha mencari dan menemukan Dia. Ketiga orang asing itu sujud menyembah Yesus Kristus, tetapi para pemimpin bangsa Yahudi yang memahami nubuat tentang Sang Mesias justru tidak tergerak untuk mencari dan menyembah Dia.
Hari Natal di tahun 2023 telah lewat dan pesan Natal tahun ini telah disampaikan kepada kita. Pertanyaan yang patut kita renungkan adalah sebesar apa hasrat kita untuk selalu mencari dan menyembah Allah yang menyatakan diri di dalam Yesus Kristus? Apakah relasi pribadi dengan Allah sangat penting sehingga kita selalu rindu untuk memupuk relasi dengan Dia? Selama beribadah di hari Natal, kita mungkin menyanyikan pujian kepada-Nya dengan penghayatan. Namun, apakah kita bersungguh hati mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada-Nya dengan pemahaman bahwa itulah ibadah yang sejati (Roma 12:1)?