Sistem demokrasi kadang-kadang berdampak buruk. Dalam sistem demokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan semua orang (termasuk pemimpin) sama derajatnya di mata hukum. Pemimpin tidak terlalu diagungkan dan bahkan pemimpin bisa dijatuhkan. Dalam sidang DPR di Indonesia, penyamaan derajat itu membuat presiden tidak disapa sebagai "Bapak Presiden", melainkan sebagai "Saudara Presiden". Sungguh celaka bahwa kondisi semacam ini menjalar pula dalam hubungan manusia dengan Allah, sehingga sebagian orang menganggap Allah sebagai "sesama". Rasa hormat kepada Allah semakin luntur. Terlambat dalam ibadah tidak lagi terasa sebagai kesalahan besar, melainkan terasa biasa. Sapaan yang meninggikan dan memuliakan Allah semakin jarang terdengar dan Allah hanya dipandang sebagai "sahabat" atau "kekasih".
Suasana pertemuan antara "manusia" dengan "Allah" yang digambarkan dalam pasal ini jauh berbeda dengan suasana ibadah di gereja pada masa kini. Sebelum bertemu dengan Allah, bangsa Israel harus mencuci pakaiannya (19:10), memasang batas antara Allah dengan umat-Nya (19:12-13), dan tidak bersetubuh (19:15). Terlihat jelas bahwa kekudusan Allah membuat umat Allah gentar berhadapan dengan Allah. Dalam sepuluh hukum pun, jelas terlihat bahwa hukum menyangkut relasi dengan Allah (20:3-11) terpisah dengan hukum menyangkut relasi dengan sesama (20:12-17). Perhatikan suasana ibadah di gereja Anda: Apakah masih terasa adanya suasana rasa takut kepada TUHAN? Apakah ada yang berani mengobrol saat ibadah? Apakah masih ada rasa malu saat datang terlambat? Apakah pakaian yang bersih dan rapi saat ibadah masih dianggap penting? [P]
Kemudian TUHAN berfirman kepada Musa: "Turunlah, peringatkanlah kepada bangsa itu, supaya mereka jangan menembus mendapatkan TUHAN hendak melihat-lihat; sebab tentulah banyak dari mereka akan binasa." Keluaran 19:21