Prinsip bisnis yang populer adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan cara yang paling kecil risikonya. Namun, bacaan hari ini menegaskan bahwa belas kasihan harus lebih besar dari keuntungan bisnis. Orang Israel dilarang mengambil (menyita) jaminan yang merupakan sumber nafkah atau sumber hidup dari si peminjam (24:6, 12-13, 17). Tentu saja hal ini berisiko tinggi karena bisa saja utang tidak terbayar dan tidak ada barang jaminan di tangan si pemberi pinjaman. Sekalipun demikian, belas kasihan harus lebih diutamakan daripada kepentingan pengembalian pinjaman.
Belas kasihan juga harus lebih diutamakan daripada "keuntungan sebesar-besarnya". Seorang majikan tidak boleh mengambil keuntungan dengan memeras tenaga pekerjanya tanpa segera membayar mereka setiap hari (24:14-15, bandingkan dengan Yakobus 5:4). Pemilik ladang (ladang gandum, zaitun atau anggur) tidak boleh memanen ladangnya hingga 100%, melainkan harus membiarkan sisa-sisa yang ada bagi orangorang yang membutuhkan, Ulangan 24:19-21). Peraturan ini tentu saja mengurangi "keuntungan", namun Tuhan memerintahkan agar belas kasihan lebih diutamakan daripada keuntungan semata.
Biarlah keuntungan kita berkurang asalkan orang-orang lain mendapat belas kasihan dari kita. Bukankah bangsa Israel telah mendapat belas kasihan dari Tuhan seperti yang berulang kali diingatkan oleh Tuhan, "...bukankah dahulu kamu budak di Mesir dan ditebus TUHAN, Allahmu, dari sana." Bukankah kita--yang dulu adalah budak dosa--telah ditebus dari dosa dan kematian? Mengapa kita masih mencintai dunia dan melupakan belas kasihan? [MB]
"Sesungguhnya telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu, dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan mereka yang menyabit panenmu." Yakobus 5:4