Setiap orang memiliki waktu yang sama. Yang berbeda adalah cara memanfaatkan waktu. Seorang penulis pernah berkata, "Waktu adalah penguasa yang kejam, yang menekan kita di bawah kendalinya. Sedikit demi sedikit waktu membuat kita merasa dan kelihatan lebih tua, dengan terus-menerus mendorong kita menuju hari kematian kita. Waktulah yang menentukan kapan kita menanam atau menuai, kapan kita tertawa atau menangis, kapan kita menyimpan atau membuang sesuatu (Pengkhotbah 3:1-8)."
Konteks sejarah yang melatarbelakangi Mazmur 39 ini tidak jelas. Dalam penderitaannya, Daud merasa tersiksa oleh kerasnya pendisiplinan Tuhan. Seorang penafsir Alkitab berkata, "Pertanyaan yang membara dari mazmur ini adalah mengapa Tuhan harus terus mendisiplin makhluk yang lemah dan cepat berlalu seperti manusia?" Pertanyaan yang sama juga diajukan oleh Ayub yang menderita (Ayub 7:16-19). Pemazmur menggemakan perasaan pesimis dari penulis kitab Pengkhotbah, "setiap manusia hanyalah kesia-siaan" (39:6,12). Terjemahan literal dari perkataan tersebut berbunyi, "sesungguhnya semua manusia hanya seperti hembusan nafas". Kata nafas berasal dari kata Ibrani yang berarti kesia-siaan. Kata ini digunakan 36 kali dalam Kitab Pengkhotbah. Kata tersebut menunjuk pada apa yang bersifat sementara dan rapuh.
Kita perlu selalu mengingat fakta bahwa dari sudut pandang keabadian (39:5-6) dan kematian (39:7), hidup ini bersifat sementara. Kehidupan manusia bersifat fana--bisa rusak merosot, mati--sedangkan keberadaan TUHAN bersifat kekal. Tidak bisa merosot atau mati. Dalam hidup yang fana ini, kita memiliki dua pilihan, yaitu hidup untuk diri sendiri atau hidup untuk TUHAN. Hidup untuk TUHAN berarti: Pertama, menaruh semua harapan pada TUHAN (39:8), menjadikan TUHAN sebagai satu-satunya yang berharga. Kedua, mengejar kekudusan dengan menjaga lidah (39:2-4, 9-10). Daud sadar bahwa kata-kata keluhannya bisa disalahpahami atau disalahtafsirkan oleh musuh-musuhnya. Dia berhati-hati agar tidak mengatakan apa pun yang buruk tentang TUHAN di tengah kesusahannya. Daud tetap ingin menyenangkan hati TUHAN dengan cara menahan mulutnya di depan orang jahat. Ketiga, tunduk pada pendisiplinan-Nya dalam hidup kita (39:10-12). TUHAN berhak menegur dan mendisiplin kita agar kita menjadi lebih saleh. Bagaimana tanggapan Anda terhadap pendisiplinan Allah dalam hidup Anda? Apakah Anda telah menjaga lidah Anda dan Anda juga telah berjuang untuk hidup bagi TUHAN?